LAKI-LAKI SUMBER TELADAN

Ada banyak cara yang dilakukan para ayah, agar anak-anaknya mengikuti apa yang ia katakan, tetapi tidak ada cara yang lebih efektif dari menjadi teladan bagi mereka.

Seorang ayah dan anak laki-lakinya sedang menonton pertandingan sepak bola di televisi. Setiap kali sang ayah melakukan sesuatu hal -entah itu bersorak, bertepuk tangan, berdiri ataupun yang lainnya, si anak langsung mengikutinya, sambil matanya terus memperhatikan ayahnya. "Anak selalu menirukan apa yang dilakukan oleh orangtua mereka, karena itu berilah contoh bagi mereka untuk menggosok gigi setiap hari," demikianlah narasi sebuah iklan pasta gigi. Lalu, diperlihatkan bagaimana mereka berdua menggosok gigi bersama, sambil mata si anak terus memperhatikan ayahnya. Ini memang hanya iklan, tetapi ada satu kebenaran dan pesan moral yang tersirat di dalamnya, bahwa anak cenderung untuk meniru atau mengikuti perilaku orangtuanya. Ini hal yang sangat wajar, karena anak memang cenderung untuk meniru tindakan orang-orang yang lebih besar, tua atau dewasa, agar mereka terlihat sejajar atau dianggap sama dengan orang-orang tersebut.

Karena itu, tak heran, jika ada ungkapan yang berkata: like father, like son. Artinya, sebagaimana perilaku seorang ayah, begitu pula perilaku anak laki-lakinya, begitulah kira-kira arti ungkapan itu. Kata-kata ungkapan atau narasi iklan yang mungkin telah sering kita dengar ini, memiliki kebenaran yang tidak dapat disangkal dan sekaligus juga menjadi peringatan bagi kita semua, para ayah. Peringatan penting, yaitu ... agar kita mengawasi sikap dan cara hidup kita di tengah-tengah keluarga kita, entah itu di dalam perkataan atau perbuatan kita sehari-hari. Mengapa? Karena, seperti contoh yang ditunjukkan di atas, anak-anak kita berpotensi untuk melihat dan meniru atau mengikuti perilaku kita sehari-hari, dan fakta menunjukkan bahwa perilaku yang buruk lebih mudah diingat, diikuti atau ditiru mereka. Apalagi, kita sebagai ayah dan kepala keluarga di hadapan anak-anak kita -yang mereka anggap sebagai figur yang luar biasa, maka segala perilaku kita akan lebih cepat mereka ikuti atau tiru daripada perilaku ibu mereka. “Aku nanti mau jadi seperti ayah,” begitulah anak-anak kecil seringkali berkata, entah mereka itu laki-laki atau perempuan, saat ditanya cita-cita mereka. Sebab itu, segala sesuatu yang diperkatakan atau diperbuat oleh sang ayah, entah itu baik atau buruk, hal itu akan langsung terekam dan mereka ikuti. Alasannya begitu sederhana, karena mereka ingin menjadi seperti kita, ayah mereka.

Apa yang diuraikan dengan singkat di atas menunjukkan kepada kita semua, para ayah, bahwa kita adalah sumber teladan bagi anak-anak kita. Kita adalah sumber insprasi bagi cara mereka berkata-kata dan melakukan segala sesuatu di dalam hidup mereka sehari-hari. Karena itu, seperti telah disinggungkan di atas, kita mutlak harus mengawasi sikap dan cara hidup kita di tengah-tengah keluarga kita dari waktu ke waktu, baik itu sikap kita terhadap isteri dan anak-anak kita, saat menghadapi masalah berat atau melakukan kesalahan, termasuk pula di dalam kehidupan beribadah. Ingat, bahwa perilaku kita yang buruk akan lebih mudah dingat, diikuti atau pun ditiru oleh anak-anak kita, dan ... juga paling sulit dihapuskan dari memori mereka. Tak hanya itu, karena kita adalah sumber inspirasi bagi anak-anak kita, maka kita juga harus menjadi teladan bagi mereka, bagaimana mereka harus hidup dan melakukan segala sesuatu di dalam setiap aspek kehidupan mereka. Kita harus menjadi teladan kehidupan bagi anak-anak kita, dan itulah fungsi kita di tengah-tengah mereka. Itu artinya, kita harus senantiasa memiliki sikap dan cara yang baik tiap-tiap hari, agar hal tersebut boleh menjadi sebagai kompas dan cermin hidup bagi anak-anak kita, bukan hanya untuk hidup mereka hari ini saja, tetapi yang terutama boleh menjadi bekal hidup mereka kelak di masa depan. Bekal untuk menjalani kehidupan mereka.

Kita mungkin telah berusaha mengajar dan mendidik anak-anak kita dengan semaksimal mungkin, tetapi hal itu tidak akan tertanam dengan baik di dalam hati mereka dan memotivasi mereka untuk melakukannya, hingga mereka melihat contoh, panutan atau teladan nyata dari kehidupan kita sendiri, ayah mereka. Ketahuilah, tidak ajaran atau didikan yang begitu efektif bagi anak-anak, hingga mata mereka melihat teladan yang ditunjukkan atau ditinggalkan oleh ayah mereka. Contoh: hal mengasihi saudara. Kita tidak akan pernah bisa mengajar atau mendorong mereka untuk melakukan ajaran tersebut, jika kita sendiri masih sering menyakiti isteri mereka atau memusuhi saudara kita yang menyebalkan. Kita harus menjadi teladan terlebih dulu bagi mereka. Bahkan, fakta juga menunjukkan bahwa seringkali teladan yang dilihat anak-anak kita dari kehidupan kita sehari-hari, telah mengajar dan memotivasi mereka terlebih dulu untuk melakukan ‘teladan’ itu, sebelum kita sendiri mengajar atau mendidik mereka. Didikan membutuhkan teladan, dan teladan memberikan didikan.

Hari ini, apabila kita sungguh-sungguh rindu, agar anak-anak kita boleh memiliki sikap dan cara hidup yang baik, maka kita tidak hanya cukup mengajar dan mendidik mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan, tetapi kita juga harus menjadi teladan hidup bagi mereka. Karena itu, hal terutama yang harus kita lakukan, yaitu bertobat dan berubah dari segala perilaku kita yang buruk selama ini. Kembali ke dalam jalan Tuhan. Dan, sejak hari ini, milikilah sikap dan cara hidup yang baik di tengah-tengah keluarga kita, agar anak-anak kita boleh melihat perkataan dan perbuatan kita, lalu ... mengikuti teladan kehidupan kita. Akhirnya, mari kita mau meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi kehidupan anak-anak kita, bukan hanya untuk hari ini tetapi juga untuk masa depan mereka, yaitu teladan kehidupan yang baik. Selamat menjadi teladan bagi anak-anak Anda.

Lahirnya WORD for MEN

Tahun 1997 seorang rekan merekomendasikan sebuah buku berjudul Kesempurnaan Seorang Pria (karangan Ed Cole) kepada saya. Ketika saya membaca buku itu, halaman demi halaman dalam buku itu mulai memulihkan kepriaan saya di dalam Kristus. Sejak saat itu, ada satu kerinduan yang menggeliat di dalam diri saya. Kerinduan untuk melihat para pria Kristen mengalami pemulihan seperti yang telah saya alami di dalam Kristus, membagikan kebenaran firman Tuhan yang telah memulihkan kepriaan saya di dalam Kristus, dan merekomendasikan buku itu kepada setiap pria yang saya kenal.

Kerinduan itu makin menggeliat, setelah saya mengikuti acara Pria Sejati di Puncak selama tiga hari. Sebab itu, Oktober 2005, setelah melalui pergumulan di dalam doa, saya dan isteri saya memutuskan untuk terlibat lebih jauh di dalam kegerakan pemulihan kaum pria, sesuai talenta yang saya miliki. Kami memutuskan untuk menerbitkan sebuah renungan harian khusus bagi para pria Kristen: WORD for MEN. Sebuah renungan harian yang dirancang dengan begitu rupa, hingga benar-benar membumi dengan kehidupan para pria Kristen dan boleh menjawab kebutuhan rohani mereka.

Akhirnya, Februari 2006, oleh anugerah Alllah, terbitlah renungan harian bagi para pria Kristen yang pertama. Sebuah renungan harian yang lahir dari satu kerinduan untuk mem¬bawa para pria Kristen kembali ke dalam rencana Allah yang semula!

Visi WORD for MEN

men who like HIS real plan
Laki-laki yang memiliki tujuan, sikap dan cara hidup sebagaimana yang Allah rencanakan dari semulanya di dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik itu di dalam kehidupan iman, pernikahan, keluarga, pekerjaan dan pelayanan mereka

Misi WORD for MEN

bring men into HIS real plan
Membawa para laki-laki masuk ke dalam rencana Allah yang sesungguhnya dan sepenuhnya di dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik itu di dalam kehidupan iman, pernikahan, keluarga, pekerjaan dan pelayanan mereka

Lingkup WORD for MEN

• Aspek kehidupan seorang laki-laki dengan Allahnya
• Aspek kehidupan seorang laki-laki dengan karakternya
• Aspek kehidupan seorang laki-laki dengan pernikahannya
• Aspek kehidupan seorang laki-laki dengan keluarganya
• Aspek kehidupan seorang laki-laki dengan pekerjaannya
• Aspek kehidupan seorang laki-laki dengan pelayanannya
• Aspek kehidupan seorang laki-laki dengan komunitasnya

SURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU

Surga di bawah telapak kaki ibu. Ungkapan ini tidak hanya menunjukkan betapa besarnya peran seorang ibu, tetapi juga menunjukkan betapa tidak berperannya para ayah.

Surga di bawah telapak kaki ibu. Tentu saja, ungkapan ini tidak berbicara secara harfiah bahwa para ibu sedang berdiri di atas surga atau sedang menginjak-injak surga, tetapi berbicara jika kita tidak ingin terintangi untuk masuk sorga, maka kita harus menghargai dan menghormati ibu kita. Ungkapan ini telah dibuat untuk menunjukkan betapa besarnya peran seorang ibu bagi kehidupan anak-anaknya, dan juga untuk mengingatkan kita senantiasa menghormati mereka. Pertanyaannya, mengapa tidak dikatakan di bawah telapak kaki orang tua? Mengapa hanya dikatakan di bahwa telapak kaki ibu saja? Apakah peran seorang ayah bagi anak-anaknya kurang berarti atau berharga dibandingkan dengan peran seorang ibu bagi anak-anaknya? Apakah peran seorang ibu lebih berharga, karena mereka lah yang telah melahirkan anak-anak mereka dengan mempertaruhkan nyawa mereka? Lalu, bagaimana dengan seorang ayah yang telah bekerja keras dengan tidak menghiraukan nyawanya, agar dapat membiayai persalinan anaknya dan mencukupi kebutuhannya? Saya percaya, bahwa para ayah dan ibu memiliki peran yang sama penting dan berharganya bagi anak-anak mereka, dan keduanya tidak dapat diperbandingkan manakah yang lebih penting dan berharga? Keduanya, para ayah dan ibu, masing-masing memiliki kadar peran dan pengorbanan yang berbeda dan saling melengkapi bagi anak-anak mereka.

Kembali kepada pertanyaan di atas, lalu mengapa selama ini hanya dikatakan bahwa surga di bawah telapak kaki ibu, dan bukannya di bawah telapak kaki orang tua? Ada apa dengan ayah? Menurut beberapa sumber munculnya ungkapan ‘surga di bawah telapak kaki ibu’ berkaitan erat dengan kondisi masyarakat pada masa yang lampau. Mengapa? Karena pada masa itu, kebanyakan laki-laki kurang perduli dengan keadaan isteri dan anak-anak mereka, dan sibuk dengan urusan mereka sendiri. Tak hanya itu, tidak sedikit dari mereka yang juga meninggalkan keluarganya, bahkan menikah lagi dan melupakan keluarganya. Akibatnya, ada banyak isteri yang harus berperan sebagai single parent, untuk mengasuh dan merawat anak-anak mereka, sementara sang suami sibuk dengan urusannya sendiri atau pergi entah kemana. Karena itu, tak heran, jika peran seorang ibu menjadi begitu besar dan sangat berarti bagi kehidupan seorang anak, hingga mereka begitu menghargai dan menghormati ibu mereka. Begitu besarnya peran dan pengorbanan seorang ibu pada masa itu, hingga mereka mengganggap jika sampai ada seorang anak yang tidak menghormati ibunya, ia benar-benar keterlaluan dan tidak akan masuk surga. Jadi, jelas di sini, semuanya itu dimulai dari satu hal, karena ada ayah-ayah yang tidak berperan bagi kehidupan keluarga dan anak-anak mereka, seperti seharusnya seorang ayah.

Apa yang diuraikan di atas menunjukkan, bahwa ungkapan ‘surga di bawah telapak kaki ibu’ tidak hanya dimaksudkan untuk menghargai dan menghormati peran seorang ibu bagi anak-anaknya, tetapi hal itu seharusnya juga menjadi introspeksi bagi kita, para laki-laki: sudahkah kita menjalankan peran kita dengan maksimal terhadap dan dalam kehidupan anak-anak kita? Ketahuilah, bahwa peran seorang laki-laki atau ayah tidak hanya berbicara soal nafkah belaka, tetapi jauh lebih luas dan komplek dari itu. Kita pernah membahas bahwa menjadi kepala keluarga tidak hanya berbicara status, tetapi lebih kepada fungsi kita untuk menjadi sumber bagi keluarga kita (AdInfo edisi Maret 2008). Ini berbicara peran kita bagi anak-anak kita. Ketahuilah, bahwa bukan tanpa maksud Tuhan telah menitipkan anak-anak kita kepada kita, tetapi supaya kita boleh melakukan peran kita sebagai ayah bagi mereka. Sebuah ‘peran’ yang tidak hanya sekedar memberi nafkah belaka.

Mari kita melakukan flashback sejenak. Coba renungkan. Siapakah yang mengawasi anak kita belajar dan membuat tugas sekolah? Siapakah yang mendorong anak kita pergi ke tempat ibadah? Siapakah yang mengajar anak kita untuk berdoa dan membaca kitab suci? Siapakah yang selalu menyediakan waktu untuk menunggui anak kita di sisi tempat tidurnya, saat ia sakit? Siapakah yang lebih banyak menaikkan doa-doa untuk anak kita, agar ia boleh tetap hidup di jalan Tuhan? Siapakah yang lebih dulu mendapati ketidakberesan yang terjadi pada anak kita? Siapakah yang lebih sabar mendengarkan curhatan anak kita? Nah, saat kita merenungkan beberapa pertanyaan ‘siapakah’ di atas, hasil apakah yang kita dapatkan? Ingat, ini baru sebagian kecil saja dari segudang pertanyaan yang serupa. Apakah sosok ‘siapakah’ itu lebih banyak isteri kita atau bahkan kita hampir sama sekali tidak ada? Jika itu yang terjadi, berarti peran kita masih jauh dari takaran yang seharusnya. Ada banyak laki-laki yang menjadikan kesibukannya bekerja sebagai kambing hitam dari ketidakberperanan dirinya sebagai ayah bagi anak-anak mereka, dan berkata, “Itu kan tugas isteri mengurus anak.” Isteri lagi yang salah. Ini adalah pengingkaran terhadap posisi dan peran kita sebagai seorang ayah terhadap anak-anak kita.

Akhirnya, mari kita mau meningkatkan peran kita sebagai ayah bagi anak-anak kita, sebagaimana seha-rusnya. Anak-anak kita membutuhkan peran dari sosok ayah dan sosok ibu secara seimbang di dalam pertum¬buh¬an dan kehidupan mereka, agar mereka boleh berkembang menjadi pribadi yang utuh dan maksimal dari waktu ke waktu. Ketahuilah, bahwa berperan maksimal bagi anak-anak kita tidak harus memiliki waktu yang banyak, tetapi bagaimana kita mau selalu menyediakan waktu dan menyiasati waktu yang ada, agar kita dapat tetap berperan sebagai ayah bagi mereka dengan semestinya. Selamat berperan sebagai ayah.