SURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU

Surga di bawah telapak kaki ibu. Ungkapan ini tidak hanya menunjukkan betapa besarnya peran seorang ibu, tetapi juga menunjukkan betapa tidak berperannya para ayah.

Surga di bawah telapak kaki ibu. Tentu saja, ungkapan ini tidak berbicara secara harfiah bahwa para ibu sedang berdiri di atas surga atau sedang menginjak-injak surga, tetapi berbicara jika kita tidak ingin terintangi untuk masuk sorga, maka kita harus menghargai dan menghormati ibu kita. Ungkapan ini telah dibuat untuk menunjukkan betapa besarnya peran seorang ibu bagi kehidupan anak-anaknya, dan juga untuk mengingatkan kita senantiasa menghormati mereka. Pertanyaannya, mengapa tidak dikatakan di bawah telapak kaki orang tua? Mengapa hanya dikatakan di bahwa telapak kaki ibu saja? Apakah peran seorang ayah bagi anak-anaknya kurang berarti atau berharga dibandingkan dengan peran seorang ibu bagi anak-anaknya? Apakah peran seorang ibu lebih berharga, karena mereka lah yang telah melahirkan anak-anak mereka dengan mempertaruhkan nyawa mereka? Lalu, bagaimana dengan seorang ayah yang telah bekerja keras dengan tidak menghiraukan nyawanya, agar dapat membiayai persalinan anaknya dan mencukupi kebutuhannya? Saya percaya, bahwa para ayah dan ibu memiliki peran yang sama penting dan berharganya bagi anak-anak mereka, dan keduanya tidak dapat diperbandingkan manakah yang lebih penting dan berharga? Keduanya, para ayah dan ibu, masing-masing memiliki kadar peran dan pengorbanan yang berbeda dan saling melengkapi bagi anak-anak mereka.

Kembali kepada pertanyaan di atas, lalu mengapa selama ini hanya dikatakan bahwa surga di bawah telapak kaki ibu, dan bukannya di bawah telapak kaki orang tua? Ada apa dengan ayah? Menurut beberapa sumber munculnya ungkapan ‘surga di bawah telapak kaki ibu’ berkaitan erat dengan kondisi masyarakat pada masa yang lampau. Mengapa? Karena pada masa itu, kebanyakan laki-laki kurang perduli dengan keadaan isteri dan anak-anak mereka, dan sibuk dengan urusan mereka sendiri. Tak hanya itu, tidak sedikit dari mereka yang juga meninggalkan keluarganya, bahkan menikah lagi dan melupakan keluarganya. Akibatnya, ada banyak isteri yang harus berperan sebagai single parent, untuk mengasuh dan merawat anak-anak mereka, sementara sang suami sibuk dengan urusannya sendiri atau pergi entah kemana. Karena itu, tak heran, jika peran seorang ibu menjadi begitu besar dan sangat berarti bagi kehidupan seorang anak, hingga mereka begitu menghargai dan menghormati ibu mereka. Begitu besarnya peran dan pengorbanan seorang ibu pada masa itu, hingga mereka mengganggap jika sampai ada seorang anak yang tidak menghormati ibunya, ia benar-benar keterlaluan dan tidak akan masuk surga. Jadi, jelas di sini, semuanya itu dimulai dari satu hal, karena ada ayah-ayah yang tidak berperan bagi kehidupan keluarga dan anak-anak mereka, seperti seharusnya seorang ayah.

Apa yang diuraikan di atas menunjukkan, bahwa ungkapan ‘surga di bawah telapak kaki ibu’ tidak hanya dimaksudkan untuk menghargai dan menghormati peran seorang ibu bagi anak-anaknya, tetapi hal itu seharusnya juga menjadi introspeksi bagi kita, para laki-laki: sudahkah kita menjalankan peran kita dengan maksimal terhadap dan dalam kehidupan anak-anak kita? Ketahuilah, bahwa peran seorang laki-laki atau ayah tidak hanya berbicara soal nafkah belaka, tetapi jauh lebih luas dan komplek dari itu. Kita pernah membahas bahwa menjadi kepala keluarga tidak hanya berbicara status, tetapi lebih kepada fungsi kita untuk menjadi sumber bagi keluarga kita (AdInfo edisi Maret 2008). Ini berbicara peran kita bagi anak-anak kita. Ketahuilah, bahwa bukan tanpa maksud Tuhan telah menitipkan anak-anak kita kepada kita, tetapi supaya kita boleh melakukan peran kita sebagai ayah bagi mereka. Sebuah ‘peran’ yang tidak hanya sekedar memberi nafkah belaka.

Mari kita melakukan flashback sejenak. Coba renungkan. Siapakah yang mengawasi anak kita belajar dan membuat tugas sekolah? Siapakah yang mendorong anak kita pergi ke tempat ibadah? Siapakah yang mengajar anak kita untuk berdoa dan membaca kitab suci? Siapakah yang selalu menyediakan waktu untuk menunggui anak kita di sisi tempat tidurnya, saat ia sakit? Siapakah yang lebih banyak menaikkan doa-doa untuk anak kita, agar ia boleh tetap hidup di jalan Tuhan? Siapakah yang lebih dulu mendapati ketidakberesan yang terjadi pada anak kita? Siapakah yang lebih sabar mendengarkan curhatan anak kita? Nah, saat kita merenungkan beberapa pertanyaan ‘siapakah’ di atas, hasil apakah yang kita dapatkan? Ingat, ini baru sebagian kecil saja dari segudang pertanyaan yang serupa. Apakah sosok ‘siapakah’ itu lebih banyak isteri kita atau bahkan kita hampir sama sekali tidak ada? Jika itu yang terjadi, berarti peran kita masih jauh dari takaran yang seharusnya. Ada banyak laki-laki yang menjadikan kesibukannya bekerja sebagai kambing hitam dari ketidakberperanan dirinya sebagai ayah bagi anak-anak mereka, dan berkata, “Itu kan tugas isteri mengurus anak.” Isteri lagi yang salah. Ini adalah pengingkaran terhadap posisi dan peran kita sebagai seorang ayah terhadap anak-anak kita.

Akhirnya, mari kita mau meningkatkan peran kita sebagai ayah bagi anak-anak kita, sebagaimana seha-rusnya. Anak-anak kita membutuhkan peran dari sosok ayah dan sosok ibu secara seimbang di dalam pertum¬buh¬an dan kehidupan mereka, agar mereka boleh berkembang menjadi pribadi yang utuh dan maksimal dari waktu ke waktu. Ketahuilah, bahwa berperan maksimal bagi anak-anak kita tidak harus memiliki waktu yang banyak, tetapi bagaimana kita mau selalu menyediakan waktu dan menyiasati waktu yang ada, agar kita dapat tetap berperan sebagai ayah bagi mereka dengan semestinya. Selamat berperan sebagai ayah.